Cerpen ini bercerita tentang seorang adik yang rela
mengorbankan hatinya untuk menyelamatkan hidup kakaknya demi kebahagiaan orang tuanya. Tentunya itu
hanya menurutnya, bahwa orang tuanya akan bahagia. Karena tak ada orang tua
yang tidak menyayangi anaknya. Tak ada orang tua yang bisa memilih diantara
salah satu anaknya.
PENGORBANAN UNTUK KEBAHAGIAAN
ORANG TUA
Karya
: Linggar Riski
Aku tidak pernah meminta untuk diperlakukan
istimewa sejak aku kecil. Aku juga tidak pernah meminta untuk dilahirkan di
keluarga terpandang. Mungkin, anak seumurku di luar sana, ada yang iri dengan
semua kenikmatan yang diberikan padaku. Aku memang hidup secara berkecukupan,
semua barang yang aku ingin kan dapat dengan mudah diberikan oleh orang tuaku
namun tidak dengan ‘kebahagiaan’. Aku anak ke tiga dari tiga bersaudara. Kakak
pertamaku bernama Donny. Dan kakak keduaku bernama Shilla. Namaku sendiri
Nayla.
Saat aku duduk santai di balkon kamarku sore ini.
Handphoneku berdering ternyata telpon dari Mama,
“Nay kakak kamu sudah makan belum?” suara Mama
dari seberang telpon.
“Nggak tau ma” jawabku
“Tanyain ke kakak kamu atau ke mbak dulu, Nay.
Kakak kamu nggak boleh telat makan”
“Iya, Ma”
Kemudian aku menuju kamar kakak tanpa mematikan
telpon dari Mama. Aku mengetuk pintu kamarnya.
“Masuk” jawab kakak dari
dalam kamarnya.
“Udah makan kak?” tanyaku.
“Udah” jawabnya ketus sambil memainkan handphonnya
tanpa menoleh padaku.
Aku keluar dari kamar
kakak.
“Kak Shilla udah makan kok, Ma”
“Kak Shilla udah makan kok, Ma”
“Iya tadi udah dengar, ya udah telponnya mama
tutup dulu Nay soalnya lagi sibuk ini”
“Iya Ma, Wassalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Mama sayang banget sama Kak Shilla, jadi meskipun
sibuk mama tetep sempetin tanyain kabar Kakakku. Aku nggak iri dengan kasih
sayang yang diberikan orang tuaku pada Kak Shilla. Sejak kecil Kak Shilla
sakit-sakitan gitu lah jadi Papa sama Mama kasih perhatian lebih ke Kak Shilla.
Buat aku ngerasain kasih sayang dari kakak pertamaku dan sahabat-sahabatku saja
sudah lebih dari cukup. Papa Mama pasti juga sayang sama aku, aku percaya itu.
***
Jam menunjukkan pukul
06.15 dan aku sudah bersiap akan berangkat ke sekolah. Aku biasanya berangkat
sekolah menggunakan sepeda, lebih seru bisa nikmati indahnya pemandangan di
pagi hari. Perjalanan rumahku ke sekolah hanya ditempuh sekitar 15 menit
menggunakan sepeda itupun aku sembari menikmati pemandangan pegunungan yang
indah.
Setelah sampai di sekolah aku memarkir sepedaku
lalu menuju ke kelas. Tiba di kelas aku langsung duduk di tempatku biasanya
duduk. Untuk mengusir kebosanan aku mengeluarkan novel dari dalam tasku dan
membacanya.
“Udah dateng, Nay” suara Rayhan mengagetkanku.
“Dateng-dateng bukannya ngucapin salam malah
ngagetin aja sih kamu”
“Sorry sorry, aku kaget soalnya tadi aku pikir
penampakan kuntilanak, Nay”
“Nyebelin kamu, Ray” aku melanjutkan membaca novel
lagi.
Rayhan sahabatku sejak kecil, dia selalu ada saat
aku sedih maupun senang.
“Ada manusia, Nay di sini. Ajak ngobrol atau kamu
curhat gitu”
“Yee siapa bilang kamu hantu. Nggak ada yang mau
aku obrolin Ray, curhat juga tentang apa coba”
“Ya apa gitu”
“Nggak ada”
“Kak Shilla apa kabar, Nay?”
Aku menoleh pada Rayhan.
“Kenapa, Nay? Aku kan Cuma nanya kabar kakak kamu
aja.
“Nggak papa, dia baik-baik aja”
“Kamu udah sarapan, Nay?”
“Hem” tanpa menoleh pada Rayhan
“Hem? Hem nya itu udah apa belum?”
“Belum”
“Nay, kamu nanti bisa sakit. Trus ntar kalau mag
kamu kambuh gimana coba”
“Hem”
“Kalau ada masalah cerita, Nay. Jangan kamu pendem
sendiri.”
Aku tak merucap apapun.
“Berasa ngobrol sama pohon aku, Nay”
Rayhan pergi ke tempat duduknya.
“Hai...sepi amat sih ini kelas. Kelas apa kuburan
sih?!” Suara Elisya yang memecah
kesunyian.
“Nay, lagi ngapain sih?” tanya Elisya padaku sembari duduk disampingku
dan meletakkan tasnya di atas meja.
Elisya juga sahabatku sejak kecil. Sekaligus teman
satu bangkuku.
“Nge-cat tembok, Sya. Udah tau lagi baca novel
juga”
“Iya juga sih ya”
Rayhan tersenyum dan mengahampiri kami.
“Nah gitu dong bicara, Nay. Kamu ada masalah, Nay?
Cerita dong, kita kan sahabat kamu.”
“Iyap, dan selalu ada buat kamu, Nay” Elisya
merangkulku.
Teet..Teet..Teet
Bel tanda mulainya pelajaran pun berbunyi.
Bel tanda mulainya pelajaran pun berbunyi.
***
Setelah akhir pelajaran hari ini aku bergegas
pulang ke rumah. Ditengah perjalanan handphoneku berbunyi , ternyata telpon
dari orang rumah. Pasti ada hal penting yang disampaikan orang rumah.
“Assalamualaikum, Non”
“Waalaikumsalam, Mbak. Ada apa kok tumben telpon
Nayla”
“Non Shilla..Non Shilla tiba-tiba pingsan Non”
“Iya Mbak aku segera
pulang. Suruh Pak Supir siapin kendaraannya ya
Mbak”
“Iya Non, Wassalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Sesegera mungkin aku menggoes sepedaku dengan
kencang. Tak ada 10 menit aku sudah berada di rumah. Waktu aku baru datang Kak
Shilla baru saja di letakkan dalam mobil. Lalu aku segera masuk mobil setelah
meletakkan sepedaku di garasi. Wajah Kak Shilla terlihat pucat. Dalam perjalanan
ke rumah sakit aku hubungi Mama.
“Assalamualaikum, Ma”
“Waalaikumsalam. Mama ini masih sibuk nanti saja
ya telponnya”
“Bentar Ma jangan tutup
telponnya dulu. Kak Shilla ini perjalanan ke rumah sakit. Kata Mbak Inah tadi
tiba-tiba kakak pingsan”
“Kok bisa kakak kamu
pingsan, dijaga yang bener Nay. Kakak kamu itu butuh perhatian lebih”
“Maaf Ma, tapi tadi aku
masih sekolah. Jadi aku nggak bisa ngontrol kondisi kakak”
“Ya udah Mama langsung
balik. Jagain kakak kamu baik-baik, Nay”
“Iya Ma, Wassalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
***
Kak Shilla sekarang berada di ruang ICU. Setelah
kurang lebih satu jaman Mama datang dan bersamaan dengan keluarnya dokter dari
ruangan ICU.
“Bagaimana kondisi anak
saya, Dok?” Tanya Mamaku saat mengetahui dokter keluar dari ruangan.
“Penyakit galactosemianya
kambuh dan itu menyebabkan kondisinya melemah”
Penyakit Galactosemia
adalah suatu penyakit keturunan dimana tubuh tidak dapat mentoleransi gula-gula
tertentu di dalam susu. Dan penyakit ini yang diidap oleh kakakku sejak kecil.
Penyakit itu juga telah merenggut nyawa Kakekku pada usia 30 tahun.
“Apa kondisinya sangat
parah, Dok?”
“Bisa ke ruangan saya
sebentar, Bu”
“Tentu, Dok”
Setelah 15 menit di dalam ruangan dokter, akhirnya
Mama keluar. Entah apa yang dibicarakan oleh dokter pada Mama sehingga
membuatnya berjalan sempoyongan dan menangis. Aku langsung menghampiri Mama dan
membantunya untuk duduk di tempat tunggu depan kamar kakak.
“Kakak baik-baik saja kan Ma? Dokter bicara apa
tadi?”
Mama hanya diam. Mungkin dia masih syok dengan apa
yang dikatakan oleh dokter di ruangannya tadi. Aku membiarkan Mama lebih tenang
dahulu dan memberinya air mineral yang aku bawa untuk bekal sekolah tadi yang
belum aku minum sedikitpun. Setelah lumayan menunggu akhirnya Mama tenang juga.
“Nay...kakak kamu (Mama berhenti berbicara dan
menarik napas) kakak kamu membutuhkan donor hati. Karena penyakit
galactosemianya sudah sangat parah. Jika kakak kamu tidak mendapatkan donor
hati secepatnya maka penyakit galactosemianya akan menyebar ke seluruh tubuh
dan mengakibatkan kerusakan yang serius pada hati dan organ-organ lainnya di
tubuh kakak kamu”
Aku tak bisa berkata apapun. Mama menghubungi ayah
dan Kak Donny. Dan aku memutuskan untuk menenangkan diri di musholla rumah sakit.
Agar aku lebih tenang aku mengambil air wudhu dan menjalankan shalat ashar.
Setelah shalat aku berdoa untuk kesembuhan Kak Shilla. Setelah menjalankan
ibadah keadaanku jauh lebih tenang. Aku menghampiri Mama di ruang tunggu tadi.
Ternyata papa dan Kak Donny sudah datang. Aku mengatakan pada mereka semua
“Pa, Ma, Kak aku bersedia untuk donorin hati aku
buat Kak Shilla”
“Jangan bercanda kamu Nay” Kata Kak Donny.
“Aku serius kak. Aku tau Papa Mama sayang sama aku
tapi Papa dan Mama lebih sayang Kak Shillakan ?. Selama ini aku belum pernah
bahagiain Mama, Papa aku yakin dengan aku mendonorkan hati aku untuk Kak Shilla
itu akan buat kalian bahagia”
“Kamu salah, Nay. Papa dan
Mama juga sayang pada kamu. Gak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya.”
“Aku juga tau Pa. ijinin
Nayla buat bahagiain Papa dan Mama untuk terakhir kalinya demi Kak Shilla juga”
“Apa kamu sudah
memikirkannya nak?” tanya Mama padaku.
“Iya Ma” Mama langsung
memelukku.
Hari ini juga aku jalani
operasi untuk pendonoran hati. Aku tak sanggup jika harus berpamitan dengan
sahabat-sahabatku. Aku juga berharap dengan aku mendonorkan hatiku untuk Kak
Shilla akan buat Mama, dan Papa bahagia.